Selasa, 08 Februari 2011

Apakah seorang pemimpin sama dengan seorang manajer?

Apakah seorang pemimpin sama dengan seorang manajer? Sebagian orang mungkin menganggap sama, bahwa seorang pemimpin adalah seorang manajer, tetapi tidak bagi mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bagi Kalla, seorang pemimpin adalah membawa sesuatu pada tujuan. Demi mencapai tujuan, seorang pemimpin harus memiliki keberanian mengambil risiko, bahkan jika harus mengubah aturan. Sementara, seorang manajer tugasnya adalah memastikan tujuan dicapai sesuai dengan aturan yang ada.

"Ini masalahnya, banyak pemimpin menjadi manajer. Manajer itu ingin semuanya berjalan sesuai aturan. Padahal, tugas utama pemimpin adalah membawa pada tujuan, kalau dirasa perlu ya harus berani mengubah aturan. Oleh karena itu, pemimpin harus berani tidak populer. Salah kalau pemimpin cari popularitas terus," kata Kalla saat menyampaikan kuliah umum di Paramadina Graduate Schools, Jakarta, Selasa (8/2/2011).

Ia menuturkan, inspirasi ini didapatnya dalam 43 tahun kariernya bekerja di tiga bidang berbeda. Selama 32 tahun Kalla menghabiskan waktunya sebagai pengusaha. Kemudian, 10 tahun ia duduk di pemerintahan. Setelah lengser dari jabatan wakil presiden, Kalla aktif di bidang sosial sebagai Ketua Palang Merah Indonesia.

Ia bercerita, di dunia bisnis hasil adalah nomor satu, sementara proses nomor dua. Sebaliknya, di pemerintahan, proses nomor satu sementara hasil nomor dua. Nah, kalau di bidang sosial, yang nomor satu adalah keselamatan, sementara proses dan biaya nomor 2, 3, atau 5.

"Saya tidak pernah mengubah cara berpikir saya selama berkarya di tiga bidang itu. Pemimpin harus membawa orang pada tujuan. Kalau perlu, berani mengubah aturan demi tujuan," kata Kalla

Jusuf Kalla membeberkan kiat-kiat kepemimpinan dalam kuliah pembuka di Paramadina Graduate Schools di Jakarta, Rabu (9/2). "Esensi kepemimpinan adalah membawa sesuatu atau orang lain sampai kepada tujuan. Tindakan itu harus meyakinkan dan dapat diselesaikan dengan baik," kata Jusuf Kalla.

JK yang saat ini menjabat sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) menjelaskan perbedaan cara kerja antara pemimpin dan manajer. "Manajer membawa sesuatu sesuai aturan, sementara pemimpin membawa kepada tujuan. Jadi, pemimpin terkadang harus melakukan langkah yang menerobos (breakthrough)," ungkapnya.

"Masalah yang terjadi di Indonesia adalah banyak pemimpin yang menjadi manajer," kata Kalla disambut tawa para peserta kuliah. "Karena itu pemimpin harus siap untuk mengatasi segala masalah yang sulit dan menjadi tidak populer karena keputusan yang dibuatnya tidak akan memuaskan semua pihak," jelasnya. "Keyakinan sang pemimpinlah yang menentukan pengerjaan kebijakan tersebut."

Hal lain yang diungkapkan JK adalah seseorang harus menggunakan logikanya dalam berkata-kata dan berpikir. "Orang kadang tidak memakai logika dalam bertindak. Misalnya dalam kekerasan dengan alasan agama, baik yang membunuh maupun dibunuh semuanya berpikir masuk surga. Padahal, tidak ada yang seperti itu dalam agama manapun," jelasnya.

Karenanya pemimpin pun harus memperkaya wawasan dengan banyak membaca. Karena hal itu dapat menambah kepercayaan diri saat berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak menyetujui pemikirannya. "Kalau kita digertak ya gertak lagi," katanya disambut tepuk tangan.

Hal yang tidak kalah penting adalah menanyakan suatu hal yang jawabannya positif bagi pihak penanya. "Bertanyalah dengan pertanyaan yang kira-kira kita sudah tahu bahwa jawabannya akan mendukung maksud kita, "ask the right question"," tambahnya.

Pemimpin pun harus dapat berkomunikasi, khususnya berkomunikasi dengan lawan yang berbeda pandangan serta didukung dengan sikap bertanggung jawab. "Pemimpin harus bertanggung jawab agar bawahannya merasa aman dalam menjalankan tugas," katanya.

Bila pemimpin bertindak dengan cara-cara demikian, Indonesia dapat menjadi negara yang besar karena punya potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia papar JK.

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan selaku moderator kuliah tersebut mengatakan bahwa sosok JK adalah orang yang berpikir di luar kebiasaan umum (thinking out of the box). "Banyak pemikiran dan tindakan Pak JK yang "thinking out of the box" yang membuat orang lain terheran-heran, namun hal tersebut memang benar," kata Anies.

Tidak kurang 14 kasus "thinking out of the box" seperti kasus Poso, Aceh, hingga konversi minyak tanah ke gas diceritakan JK pada kuliah itu. "Saya sedang menulis buku "Untold Story" mengenai pengalaman saya saat sedang menjabat wakil presiden, tunggu saja ya," ungkap JK

JAKARTA, KOMPAS.com dan Metro News

Senin, 07 Februari 2011

Negara Pariah

Ada pepatah yang berasal dari satu negara di Eropa: “Pada saat hari mulai senja, orang kecil jadi terlihat panjang.” Peribahasa ini menggambarkan keadaan suatu masyarakat yang mengalami penurunan standar nilai dan norma, ketrampilan, dan praktik-praktik pengaturan publik yang berjalan secara berkepanjangan, sehingga apa yang sesungguhnya buruk, korup, dan tidak bermutu bisa terpakai. Anggota masyarakat mulai terbiasa dengan kemandegan, ketidakpedulian akibat dari ketidakterurusan terus-menerus (ignorance).

Peribahasa itu sangat baik untuk memecut kesadaran kita apa yang bisa terjadi makin mendalam jika Indonesia terus-menerus hidup dalam ke-absurd-an. Pokok dari ke-absurd-an ini adalah ketidakmampuan institusi negara – pemerintah, DPR, penegak hukum - berfungsi sebagaimana seharusnya (yang menjadi alasan kita setuju mereka ada di sana dan menerima gaji dari masyarakat).

Bentuk keabsurdan yang paling kita rasakan (paling baru), tentu kasus Gayus Tambunan yang sebenarnya sederhana dan jelas namun begitu beraninya muncul argumen-argumen yang seakan memperlakukan masyarakat semuanya makhluk tidak berfikir. Dan para aktor yang berkepentingan – pemerintah, politisi, penegak hukum – dengan percaya diri dan bergaya muncul di depan kamera. Padahal, di negara yang “beres”, mereka itu pasti terlempar tidak terpakai. Namun di Indonesia, tampaknya mereka bisa membuat nilai dan norma baru sendiri yang meluncurkan Indonesia sebagai bangsa pariah.

Pemerintah selalu mengatakan telah berhasil memperbaiki kondisi Indonesia dengan menunjuk pada angka-angka pertumbuhan. Namun, tumbuh dari apa dan apa artinya buat rakyat? Mengapa kenyataannya rakyat biasa merasa hidup semakin sulit? Suatu laporan agak komprensif yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi Universits Indonesia (buku 'Indonesia Menentukan Nasib', 2010) menunjukkan beberapa fakta serius tentang masa depan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan ini ditopang oleh industri eksploitasi sumber daya alam dan produksi untuk barang konsumsi masyarakat. Dengan jumlah orang miskin paling tidak 13 persen dari populasi (menurut BPS) struktur ekonomi semacam ini tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan bersifat berkesinambungan.

Perekonomian global saat ini dicirikan pada kemampuan suatu negara terintegrasi pada jaringan produksi global. Untuk negara berkembang kesempatannya ada pada pengadaan komponen perusahaan multinasional. Yang dibutuhkan negara berkembang adalah kultur industri yang efisien, dengan kepastian tinggi namun cepat menyesuaikan dengan kebutuhan baru. Hal ini hanya ada jika ada kepastian pasok, kemampuan sumber daya manusia, inovasi, serta ekonomi bukan biaya tinggi.

Indonesia tertinggal pada lima bidang kunci, yaitu teknologi, efisiensi pasar tenaga kerja, infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, serta pendidikan dan pelatihan. Apa yang terjadi jika satu per satu industri komponen dan teknologi menegah tidak mampu berkembang atau bahkan gulung tikar? Deindustrialisasi, artinya adalah manusia dan institusi yang ada di suatu bangsa kehilangan pengetahuan, ketrampilan, sumber daya, dan jaringan untuk terhubung dengan sistem ekonomi dunia.

Dampak kegagalan pemerintah dan para politisi bukan hanya membuat mimpi kosong kebanyakan orang Indonesia bahwa anak dan cucu mereka akan menghadapi masa perekonomian yang lebih baik. Dampaknya jauh lebih luas dari itu. Dengan tidak adanya fasilitasi negara pada arah pembangunan tertentu, institusi-institusi yang ada dalam masyarakat juga tidak mampu berinovasi. Kita belum sampai pada industri berbasis pengetahuan, tetapi kita membutuhkan perbaikan pengetahuan berbagai profesi yang menjaga kehidupan sehari-hari seperti dokter, insinyur, ahli kesehatan masyarakat, ahli pertanian dan sebagainya.

Berapa banyak saat ini lembaga pendidikan dan profesi atas bidang-bidang itu yang mampu melakukan perbaikan standar pengetahuannya apalagi untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat? Sedikit sekali. Jikapun ada, produksinya akan bersifat elitis dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa. Misalnya, rumah sakit bertaraf internasional, air minum dan makanan sehat, dan pendidikan yang bertaraf internasional. Berapa dari kita mampu menjangkaunya? Akan terjadi kesenjangan yang semakin tajam dalam produksi dan pemanfaatan antara ketrampilan yang baik dengan ketrampilan yang mediocre.

Kemampuan institusi sosial masyarakat juga akan rusak oleh kegagalan pemerintah dan para politisi. Kohesi sosial hanya tumbuh dari kemampuan mengembangkan aturan interaksi yang sehat dan dirasa adil, baik formal maupun informal. Kemampuan itu bisa datang dari institusi agama yang mampu mengembangkan tanggung jawab, kedisiplinan dan kejujuran. Namun, institusi agama sering gagal memenuhi fungsi ini karena banyak faktor: kurang sumber daya, diurus oleh orang berwawasan sempit, dipolitisasi dan sebagainya.

Pemerintah daerah sesungguhnya mempunyai aloksai dana yang masuk dalam kategori bantuan sosial. Namun, penggunaannya sering tanpa kerangka tujuan dan penilaian yang jelas dan sering digunakan untuk menyokong kelompok-kelompoknya sendiri. Contoh lain, asosiasi usaha rakyat sangat sedikit yang kuat dan bermanfaat banyak bagi anggotanya. Para pengurusnya sering tidak mempunyai banyak waktu lagi mengurus organisasi. Untuk menyelamatkan usahanya sendiri di tengah ketidakpastian sudah menyita pikirannya.

Jadi, kegagalan negara dan politisi berdampak jauh lebih luas dari yang disadari masyarakat. Mengapa pengaruh buruk kegagalan mereka begitu besar? Alasan utama adalah alokasi sumber daya publik yang bocor dan salah tempat. Padahal, organisasi di mana mereka berada menguasai aset publik yang besar. Sebagai contoh BUMN Indonesia menguasai aset yang lebih besar dari Malaysia, namun rasio keuntungan terhadap aset Malaysia enam kali lipat Indonesia.

Satu Petronas Malaysia pada tahun 2009 mencapai keuntungan sekitar 13,2 miliar dolar AS, atau 1,3 kali keuntungan seluruh BUMN Indonesia (Mas Achmad Daniri, 2011). Beberapa indikasi menunjukkan bahwa BUMN menjadi perebutan partai politik dan ada bahaya bahwa dana CSR (corporate social responsibility) BUMN jadi target kepentingan politik. Padahal, dana CSR baik dari perusahaan swasta privat maupun negara bisa menjadi jalan keluar sebagai dana lentur untuk mencari terobosan teknologi, pengetahuan, ketrampilan, dan metode baru dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.

Adalah mimpi buruk bagi sebagian besar dari kita untuk mempunyai pemimpin di lembaga negara seperti yang ada sekarang. Berbagai organisasi masyarakat butuh kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Penulis bayangkan sejumlah orang di berbagai bidang profesi yang bekerja keras bertahun-tahun untuk dapat bekerja lebih baik dan berupaya dengan cara jujur: peneliti, dosen, industri rakyat, petani, perawat, pengurus lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya, yang harus menonton berita tentang Gayus selama bermingu-minggu.

Meuthia Ganie Raochman
Sosiolg dan Dosen FISIP UI ( Metro News 7 Februari 2010 )